Pages

Minggu, 22 Maret 2015

Ujian KKPI SMKN 14 Bandung

Photoshop

Logo SMKN 14

Logo DKV

Surat Tugas

Daftar Nilai

PowerPoint

PowerPoint 2

PowerPoint 3

PowerPoint 4

Preview Karya UJIKOM DKV SMKN 14 Bandung


1. Poster
2. Spanduk
 3. Umbul-umbul
4. Undangan
 




Cover dan label CD

Rabu, 31 Agustus 2011

Sang Pencari Syahid

Sang Pencari Syahid

By: Fia

Wahai sobat, besar rindu kami padamu

Wahai sobat, kau pengobar semangat tempur kami

Wahai sobat, kini kami bertempur tanpamu

Wahai sobat, sungguh pilu hati kami kehilanganmu

Kami melihatmu, berdiri ditanah gersang

Dijalur tank-tank menderu gagah

Tubuhmu yang kurus itu berdiri perkasa

Dengan sekeping batu digenggammu

Kau tebar takut musuh dihadapanmu

Hanya dengan tubuh kurus dan sekeping batu

Kau lempar peluru-peluru kecilmu

Menghantam tubuh baja kokoh dihadapanmu

Apalah artinya, sobat…

Apalah artinya sekeping batu…

Yang kaulempar menghantam baja musuhmu…

Bahkan menggores moncong meriampun tidak?

Namun kau tegur kami kembali, wahai sobat

Kata-katamu bagai percikan pedang yang saling hantam saat bertempur di medan perang

Memercik dan menjalarlah semangat kami karena kata-katamu

“Wahai sobat, akankah kamu hanya duduk diam?”

“Wahai sobat, hanya akan pasrahkah kamu?”

“Wahai sobat, tidakkah kamu tahu mereka sedang membantai kita?”

“Wahai sobat, tidakkah kita hargai perjuangan ayah dan kakak kita yang membela tanah ini?”

“Wahai sobat, jika mereka menyerang, maka kita harus membalas!”

Hari ini besi-besi panas menghujani tubuh para pencari syahid

Namun tak gentar kau melawan walau hanya dengan sekeping batu

Sungguh kudengar bibir tipismu berseru

“Selamanya, kalian tak boleh lewat!”

Seiring batu-batu melayang kencang

Besi-besi panas melesat menghujam ganas

Maka merah terpercik segar

Merah menetesi dadamu yang tegar

Merah menggiringmu rubuh ketanah gersang

Merah meresap ketanah lembut

Meninggalkan tubuhmu pucat

Merah yang sucipun bersaksi

Satu lagi jiwa mengabdi

Sungguh pilu hati kami, wahai sobat sejati

Kami gotong tubuhmu pergi

Melihat senyummu berseri

Ditinggalkan jiwamu pergi

Walau air mata kami menetesi

Takkan terkabul harapan kami kau kembali

Selamat jalan sobat, wahai Sang Pencari Syahid

Nantikan jiwa kami mengabdi

Untuk sang Pencari Syahid, Faris Audah

Untukmu Palestina, Sekeping Negeri Seribu Syuhada

~Fia

Minggu, 12 Desember 2010

Faris 'Audah, The Inspirator Children of Stone

... Seorang bocah yang usianya bahkan belum genap 14 tahun, dan Allah SWT telah menjadikan hatinya benar-benar benci pada para Zionis Israel. setiap pagi pada 40 hari pertama Intifadha, Faris dan teman-temannya dengan semangat berkobar melempari tank-tank Israel yang lewat, kalimat-kalimat takbir mengaum dari mulut mereka tanpa henti.

Teman-temannya sangat kagum pada keberanian Faris, yang selalu berada di barisan paling depan saat melempar batu-batu pada tank-tank Israel bersenjata lengkap itu. Bahkan beberapa orang mengingatkan Faris "sudahlah nak, lawan saja mereka dari jauh...!" namun Faris menjawab: "tidak. Jika mereka menyerang, aku juga harus melawan."

Farispun tetap berdiri tegar dihadapan tank-tank yang akan lewat, dia melempar batunya sambil berteriak "selamanya.. kamu tak boleh lewat!"

Kadang Faris dan teman-temannya harus sembunyi bila ada salah satu teman mereka yang tertembak, mereka akan bergotong-royong membawa teman mereka kedalam ambulan, lalu kembali ke baris tempur.

Memang lemparan batunya tidak mampu menggores sedikitpun tank Zionis Israel. Apalah arti tenaga seorang bocah seperti Faris. Batunya selalu hancur berhadapan dengan kokohnya dinding tank. memang tak berarti apa-apa. Tapi bukan itu pesan Faris. Pesannya yang hendak disampaikannya adalah "Hanya ada satu kata: Lawan!" Lawan segala kezaliman dan anak-anaknya yang lahir dari rahim zionis...

Suatu hari, ketika Faris sedang melempari beberapa tentara Israel, seorang tentara dengan gusar mengejarnya. sudah pasti jika Faris tertangkap, dia akan dijerumuskan ke penjara. Maka Faris berbalik dan berlari menjauh, namun si tentara terus mengejarnya, senapan tergenggam ditangannya.
Lalu tiba-tiba Faris menoleh kebelakang dan memperlambat larinya, sebuah batu masih digenggamnya. Tentara itupun mulai berhenti, melihat Faris yang malah membalikan tubuhnya sampai hampir jatuh untuk bertatap wajah.
Dengan geram Faris melempar batunya, dan luput. sekarang giliran si tentara yang berlari menjauh, dibelakangnya Faris mengejar sambil mengambil batu lagi. kejadian ini sempat terekam oleh seseorang (entah siapa-namun sepertinya seorang kameramen TV).

Faris terus melempari tank-tank itu dengan gigih selama 40 hari, sampai suatu saat
sebutir peluru menghujam dadanya. kali ini giliran teman-temannya untuk menggotongnya kedalam ambulan, seseorang didalam tank yang berprofesi sebagai sniper Israel itu menari-nari, melihat tubuh Faris meneteskan tetesan darah yang sucinya.

kawan-kawannya sangat kehilangan Faris. salah satu teman Faris menuturkan:
"kadang aku tidak datang untuk bergabung melempari para zionis, tapi Faris pasti ada disana, siap melemparkan batunya. Alhamdulillah dia syahid, dan kami sangat kehilangan dia."

alangkah beruntungnya Faris, tercatat sebagai syuhada-Nya.

Aku mengabadikan kisah ini karena Faris sudah begitu banyak memberiku Inspirasi, terima kasih, wahai Syahidul Alam.

*sebagian dari www.dsim.or.id*

Mujahid Cilik

ini hanyalah sebuah cerita fiktif dengan latar belakang dunia nyata, Palestina.

Matahari mulai terbenam ke Barat, aku mempercepat langkahku menuju rumah. Aku telah berjanji pada Hasan untuk shalat Maghrib berjamaah, dan Kakak memintaku untuk pulang cepat hari ini. Delapan menit kemudian aku tiba didepan rumah, sebuah gubuk kecil yang terbuat dari puing-puing bangunan, itulah rumahku sekarang. Rumah kami hancur terkena serangan udara Israel, Ummi dan Abi juga tewas tertimpa puing-puing rumah kami, jadi kini aku hanya tinggal bersama Hasan, adikku. Dan kak Fatimah, kakak sulungku.

“Assalamualaikum..” aku mengucapkan salam didepan pintu gubuk, “Waalaikumsalam, kak Ahmad…!” teriak Hasan girang, lalu aku memeluknya penuh sayang. Kakak pun menghampiriku, “Waalaikumsalam, Ahmad. Ayo, segera ambil wudhu, habis shalat kita makan ya.” Ucap Kakak, ia tersenyum padaku, akupun membalas senyumnya yang selalu penuh sayang.

@~@~@

“Ahmad, bangun.. mau shalat sunnah, nggak?” kudengar kakakku memanggilku dalam tidur, aku membuka mata “… ya, kak” jawabku dengan mata setengah tertutup “ayo ambil wudhu, biar kantukmu nggak menduduki matamu lagi” gurau Kakak, aku hanya nyengir.

DOR! Ya ampun, suara itu lagi! “Kakak, kayaknya Hasan dengar ada suara tembakan, deh..” ucap Hasan, dia berhenti mengunyah rotinya. Aku tertegun, sering sekali terjadi penembakan didekat gubuk kami. Otakku selalu bergejolak ingin tahu, kenapa para zionis itu selalu menembaki warga-warga tak bersalah disini, aku ingin melakukan sesuatu untuk menolong para tetanggaku itu, tapi aku selalu takut, entah kenapa. “Kakak, aku mau lihat kesana” kataku meminta izin “jangan Ahmad, terlalu bahaya disana, bisa-bisa kamu…” DOR! Ucapan Kakak tersela oleh suara tembakan itu, lalu aku berdiri dengan tegang, kali ini aku akan berbuat sesuatu! “aku harus kesana, kak.” Pintaku lagi, “nggak boleh! Kak Ahmad disini saja! Kalau kak Ahmad pergi, Hasan mau ikuut!” Hasan malah ikut-ikutan. DOR! Ya ampun! “aku pergi, kak! Takkan lama! Aku janji!” lalu aku berlari keluar gubuk tanpa menunggu jawaban Kakak. “AHMAAD!” panggil Kakak, tapi aku tak menjawab, aku ingin berbuat sesuatu pada para zionis itu!

@~@~@

Darah berceceran dimana-mana, kulihat tiga sosok yang jatuh telungkup. satu wanita, satu pria, dan anak kecil yang diam tak bergerak, didepan mereka tampak dua orang tentara bersenjata lengkap, mereka berdua tertawa puas. Aku tertegun, tanganku gemetar. Saat melihat ketiga jenazah itu aku teringat pada Ummi dan Abi, mereka tewas dengan tragis.. sama seperti sosok-sosok yang kulihat itu. Spontan aku merenggut batu terdekat, dan melemparnya kuat-kuat ke arah salah satu dari tentara itu. PRAK! Terdengar umpatan keras, lalu si tentara jatuh. Temannya memandang wajahku, pandangan itu sedingin es.. seketika aku sadar apa yang telah kuperbuat, lalu aku berlari menjauh dari kedua tentara itu, tapi aku tahu si tentara yang satunya langsung menarik pelatuk senapannya kearahku.

DOR!! Meleset! Nyaris mengenai kakiku, dia menembak lagi.. meleset lagi.. Ya Allah, aku benar-benar takut.. aku tak berani menengok kebelakang, lalu untuk yang ketiga kalinya tentara itu menembak. Seketika darah menyembur, bahuku terasa seperti terhantam sesuatu yang panas dan perih sekali. Untung saja rumahku tinggal beberapa meter lagi. Kedua tentara itu sudah tak tampak, dan bahuku makin perih..

“Ya Allah! Ahmad!” jerit Kakak begitu aku memasuki gubuk tanpa mengucapkan salam dengan bahu berlumuran darah “Kakak! Kak Ahmad!” Hasan menatapku, matanya berkaca-kaca. “Ahmad! Kamu kenapa?! Ayo cepat duduk! Kakak obati bahumu..” Kakak terlihat panik sekali.. aku memandangnya dengan mata penuh air ketika dia pergi mencari obat-obatan. ini salahku…

saat Kakak membalut bahuku perlahan dengan sobekan selimut, rasanya sangat perih. “tahan ya, Ahmad.. sedikit lagi.” Mata Kakak terlihat begitu jernih, tak ada rasa marah sama sekali. Aku tak bisa menahan air mataku lebih lama lagi, akupun langsung memeluknya erat-erat, air mataku tumpah membasahi kerudung Kakak, “A.. Ahmad? Sakit, ya?” tanyanya bingung, Hasan memandangku curiga “kak Ahmad kenapa?”

“Kakak..! maafkan aku….” Isakku, Kakak diam sejenak, lalu tangannya membalas pelukanku “kenapa kamu minta maaf?”

“aku.. aku nggak menurut sama Kakak.. karena aku egois… akhirnya Kakak jadi susah begini….” Aku menangis sampai tubuhku gemetaran.

“Ahmad… kamu sudah besar..” ucap Kakak lembut, lalu tangannya yang halus mengelus rambut keritingku perlahan dengan penuh sayang. Hasan merengek minta digendong.. “besok kita pergi mencari dokter, Ahmad. Lukamu lumayan dalam. Kakak akan membangunkanmu pagi-pagi, oke?” tawar Kakak menghibur. kali ini baru kurasakan kalau Kakak sangat menyayangi aku dan Hasan sepenuh hati. “ya Kak.. terima kasih..” jawabku lirih sambil tersenyum.

@~@~@

Mataku mengerjap-ngerjap terbuka, lukaku tak terlalu sakit lagi. Kulihat langit diluar jendela, matahari sudah naik. Bukankah Kakak bilang akan membangunkanku pagi-pagi? “Kakak.. kak Fatimah?” panggilku, tak ada jawaban. “Kak Fatimah?.. Hasan?” sepi. Aku terlonjak dari tempat tidur, lalu kucari Kakak dan Hasan.. mereka tak kutemukan.. apa yang terjadi?

DOR! Masya Allah! Jantungku berdebar kencang, tak mungkin.. lalu aku berlari keluar gubuk, keringat dingin mengucur deras dari pelipisku, DOR! Kuikuti asal suara itu, semoga firasatku salah.. Ya Allah.. bahuku terasa sakit.

“!!!” apa yang kulihat? Kakak, dan Hasan.. mereka berdiri ditengah-tengah sosok-sosok bersimbah darah, wajah Kakakku terlihat begitu pasrah, dan Hasan menggenggam tangan Kakak erat sekali. Didepan mereka berdiri dua sosok kekar, mereka tentara-tentara Israel yang kemarin! Keduanya tertawa melihat Kakak dan Hasan yang sudah terpojok, lalu salah satu dari mereka mulai membidikkan senapannya ke arah Kakak, keringat dingin seolah menyembur dari tubuhku, sekali lagi kuambil puing-puing bangunan terdekat, lalu dengan sekuat tenaga kulempar puing-puing itu ke arah si penembak sambil bertakbir, “ALLAHU AKBAR!!!”.

PRAK!!! Si tentara jatuh pingsan, helmnya terlepas karena lemparan batuku begitu keras, kurasakan bahuku berdenyut nyeri dan perih, kusadari aku melempar dengan tangan yang salah. sekali lagi teman si tentara menatapku, kali ini lebih bengis, lalu dia mengumpat “BOCAH SIALAN! KEMARI KAU ATAU KUBUNUH MEREKA!!” teriaknya. Kakak menatapku ketakutan “Ahmad.. jangan.. lari dari sini!” ucapnya parau, “DIAM, BOCAH!” bentak si tentara, dia mencondongkan senapannya kearah kakak, Hasan gemetar tak karuan. “JANGAN SAKITI MEREKA!” aku berlari kearah kakak dan Hasan, kututupi tubuh mereka dengan tubuhku. “kau pasti ingin mati.. bocah!” lalu senapan itu meletus, lalu tubuhku terlempar dan menghantam reruntuhan gedung.

@~@~@

Tubuhku lemas, pandanganku kabur.. lalu aku jatuh ke tanah perlahan diiringi jeritan parau kedua saudaraku “AHMAAD!!!”

Kudengar tentara yang tadi pingsan mulai bangun dan mengumpat keras, dengan pandangan kabur kulihat dia menatapku dengan pandangan bengis yang tercampur puas melihatku terkapar lemas. Kakak serta merta menangis dan ber-istighfar berkali-kali, kurasakan dia mengangkat kepalaku ke pangkuannya, darahku membasahi roknya yang lusuh dengan deras. “Ahmad.. Ahmad..” panggilnya, aku tersenyum lemah, berusaha menghiburnya, sementara kurasakan Hasan menangis meraung-raung sambil mengguncang-guncang tubuhku pelan dan. Aku tak bisa menatap wajahnya dengan jelas, lalu kurasakan air mata kakakku berjatuhan mengenai pipiku, lalu sayup-sayup kudengar kakakku berkata, “Ahmad…. S… sampaikan.. salam Kakak.. dan Hasan… pada Ummi dan Abi ya…” ucapnya tersendat-sendat. “Ka..kak… aku….. s… sa.. sayang k.. kakak…” seiring aku menghembuskan nafasku yang terakhir, sayup-sayup kudengar Kakak mengucapkan Inalillahi dengan pelan.

Beberapa minggu kemudian seorang pembawa berita melaporkan berita barunya, bahwa terjadinya serangan udara Israel kali ini menewaskan beberapa warga, diantara mereka tewas dua orang bersaudara, nama mereka adalah Fatimah dan Hasan.

@~@~@