Pages

Minggu, 12 Desember 2010

Mujahid Cilik

ini hanyalah sebuah cerita fiktif dengan latar belakang dunia nyata, Palestina.

Matahari mulai terbenam ke Barat, aku mempercepat langkahku menuju rumah. Aku telah berjanji pada Hasan untuk shalat Maghrib berjamaah, dan Kakak memintaku untuk pulang cepat hari ini. Delapan menit kemudian aku tiba didepan rumah, sebuah gubuk kecil yang terbuat dari puing-puing bangunan, itulah rumahku sekarang. Rumah kami hancur terkena serangan udara Israel, Ummi dan Abi juga tewas tertimpa puing-puing rumah kami, jadi kini aku hanya tinggal bersama Hasan, adikku. Dan kak Fatimah, kakak sulungku.

“Assalamualaikum..” aku mengucapkan salam didepan pintu gubuk, “Waalaikumsalam, kak Ahmad…!” teriak Hasan girang, lalu aku memeluknya penuh sayang. Kakak pun menghampiriku, “Waalaikumsalam, Ahmad. Ayo, segera ambil wudhu, habis shalat kita makan ya.” Ucap Kakak, ia tersenyum padaku, akupun membalas senyumnya yang selalu penuh sayang.

@~@~@

“Ahmad, bangun.. mau shalat sunnah, nggak?” kudengar kakakku memanggilku dalam tidur, aku membuka mata “… ya, kak” jawabku dengan mata setengah tertutup “ayo ambil wudhu, biar kantukmu nggak menduduki matamu lagi” gurau Kakak, aku hanya nyengir.

DOR! Ya ampun, suara itu lagi! “Kakak, kayaknya Hasan dengar ada suara tembakan, deh..” ucap Hasan, dia berhenti mengunyah rotinya. Aku tertegun, sering sekali terjadi penembakan didekat gubuk kami. Otakku selalu bergejolak ingin tahu, kenapa para zionis itu selalu menembaki warga-warga tak bersalah disini, aku ingin melakukan sesuatu untuk menolong para tetanggaku itu, tapi aku selalu takut, entah kenapa. “Kakak, aku mau lihat kesana” kataku meminta izin “jangan Ahmad, terlalu bahaya disana, bisa-bisa kamu…” DOR! Ucapan Kakak tersela oleh suara tembakan itu, lalu aku berdiri dengan tegang, kali ini aku akan berbuat sesuatu! “aku harus kesana, kak.” Pintaku lagi, “nggak boleh! Kak Ahmad disini saja! Kalau kak Ahmad pergi, Hasan mau ikuut!” Hasan malah ikut-ikutan. DOR! Ya ampun! “aku pergi, kak! Takkan lama! Aku janji!” lalu aku berlari keluar gubuk tanpa menunggu jawaban Kakak. “AHMAAD!” panggil Kakak, tapi aku tak menjawab, aku ingin berbuat sesuatu pada para zionis itu!

@~@~@

Darah berceceran dimana-mana, kulihat tiga sosok yang jatuh telungkup. satu wanita, satu pria, dan anak kecil yang diam tak bergerak, didepan mereka tampak dua orang tentara bersenjata lengkap, mereka berdua tertawa puas. Aku tertegun, tanganku gemetar. Saat melihat ketiga jenazah itu aku teringat pada Ummi dan Abi, mereka tewas dengan tragis.. sama seperti sosok-sosok yang kulihat itu. Spontan aku merenggut batu terdekat, dan melemparnya kuat-kuat ke arah salah satu dari tentara itu. PRAK! Terdengar umpatan keras, lalu si tentara jatuh. Temannya memandang wajahku, pandangan itu sedingin es.. seketika aku sadar apa yang telah kuperbuat, lalu aku berlari menjauh dari kedua tentara itu, tapi aku tahu si tentara yang satunya langsung menarik pelatuk senapannya kearahku.

DOR!! Meleset! Nyaris mengenai kakiku, dia menembak lagi.. meleset lagi.. Ya Allah, aku benar-benar takut.. aku tak berani menengok kebelakang, lalu untuk yang ketiga kalinya tentara itu menembak. Seketika darah menyembur, bahuku terasa seperti terhantam sesuatu yang panas dan perih sekali. Untung saja rumahku tinggal beberapa meter lagi. Kedua tentara itu sudah tak tampak, dan bahuku makin perih..

“Ya Allah! Ahmad!” jerit Kakak begitu aku memasuki gubuk tanpa mengucapkan salam dengan bahu berlumuran darah “Kakak! Kak Ahmad!” Hasan menatapku, matanya berkaca-kaca. “Ahmad! Kamu kenapa?! Ayo cepat duduk! Kakak obati bahumu..” Kakak terlihat panik sekali.. aku memandangnya dengan mata penuh air ketika dia pergi mencari obat-obatan. ini salahku…

saat Kakak membalut bahuku perlahan dengan sobekan selimut, rasanya sangat perih. “tahan ya, Ahmad.. sedikit lagi.” Mata Kakak terlihat begitu jernih, tak ada rasa marah sama sekali. Aku tak bisa menahan air mataku lebih lama lagi, akupun langsung memeluknya erat-erat, air mataku tumpah membasahi kerudung Kakak, “A.. Ahmad? Sakit, ya?” tanyanya bingung, Hasan memandangku curiga “kak Ahmad kenapa?”

“Kakak..! maafkan aku….” Isakku, Kakak diam sejenak, lalu tangannya membalas pelukanku “kenapa kamu minta maaf?”

“aku.. aku nggak menurut sama Kakak.. karena aku egois… akhirnya Kakak jadi susah begini….” Aku menangis sampai tubuhku gemetaran.

“Ahmad… kamu sudah besar..” ucap Kakak lembut, lalu tangannya yang halus mengelus rambut keritingku perlahan dengan penuh sayang. Hasan merengek minta digendong.. “besok kita pergi mencari dokter, Ahmad. Lukamu lumayan dalam. Kakak akan membangunkanmu pagi-pagi, oke?” tawar Kakak menghibur. kali ini baru kurasakan kalau Kakak sangat menyayangi aku dan Hasan sepenuh hati. “ya Kak.. terima kasih..” jawabku lirih sambil tersenyum.

@~@~@

Mataku mengerjap-ngerjap terbuka, lukaku tak terlalu sakit lagi. Kulihat langit diluar jendela, matahari sudah naik. Bukankah Kakak bilang akan membangunkanku pagi-pagi? “Kakak.. kak Fatimah?” panggilku, tak ada jawaban. “Kak Fatimah?.. Hasan?” sepi. Aku terlonjak dari tempat tidur, lalu kucari Kakak dan Hasan.. mereka tak kutemukan.. apa yang terjadi?

DOR! Masya Allah! Jantungku berdebar kencang, tak mungkin.. lalu aku berlari keluar gubuk, keringat dingin mengucur deras dari pelipisku, DOR! Kuikuti asal suara itu, semoga firasatku salah.. Ya Allah.. bahuku terasa sakit.

“!!!” apa yang kulihat? Kakak, dan Hasan.. mereka berdiri ditengah-tengah sosok-sosok bersimbah darah, wajah Kakakku terlihat begitu pasrah, dan Hasan menggenggam tangan Kakak erat sekali. Didepan mereka berdiri dua sosok kekar, mereka tentara-tentara Israel yang kemarin! Keduanya tertawa melihat Kakak dan Hasan yang sudah terpojok, lalu salah satu dari mereka mulai membidikkan senapannya ke arah Kakak, keringat dingin seolah menyembur dari tubuhku, sekali lagi kuambil puing-puing bangunan terdekat, lalu dengan sekuat tenaga kulempar puing-puing itu ke arah si penembak sambil bertakbir, “ALLAHU AKBAR!!!”.

PRAK!!! Si tentara jatuh pingsan, helmnya terlepas karena lemparan batuku begitu keras, kurasakan bahuku berdenyut nyeri dan perih, kusadari aku melempar dengan tangan yang salah. sekali lagi teman si tentara menatapku, kali ini lebih bengis, lalu dia mengumpat “BOCAH SIALAN! KEMARI KAU ATAU KUBUNUH MEREKA!!” teriaknya. Kakak menatapku ketakutan “Ahmad.. jangan.. lari dari sini!” ucapnya parau, “DIAM, BOCAH!” bentak si tentara, dia mencondongkan senapannya kearah kakak, Hasan gemetar tak karuan. “JANGAN SAKITI MEREKA!” aku berlari kearah kakak dan Hasan, kututupi tubuh mereka dengan tubuhku. “kau pasti ingin mati.. bocah!” lalu senapan itu meletus, lalu tubuhku terlempar dan menghantam reruntuhan gedung.

@~@~@

Tubuhku lemas, pandanganku kabur.. lalu aku jatuh ke tanah perlahan diiringi jeritan parau kedua saudaraku “AHMAAD!!!”

Kudengar tentara yang tadi pingsan mulai bangun dan mengumpat keras, dengan pandangan kabur kulihat dia menatapku dengan pandangan bengis yang tercampur puas melihatku terkapar lemas. Kakak serta merta menangis dan ber-istighfar berkali-kali, kurasakan dia mengangkat kepalaku ke pangkuannya, darahku membasahi roknya yang lusuh dengan deras. “Ahmad.. Ahmad..” panggilnya, aku tersenyum lemah, berusaha menghiburnya, sementara kurasakan Hasan menangis meraung-raung sambil mengguncang-guncang tubuhku pelan dan. Aku tak bisa menatap wajahnya dengan jelas, lalu kurasakan air mata kakakku berjatuhan mengenai pipiku, lalu sayup-sayup kudengar kakakku berkata, “Ahmad…. S… sampaikan.. salam Kakak.. dan Hasan… pada Ummi dan Abi ya…” ucapnya tersendat-sendat. “Ka..kak… aku….. s… sa.. sayang k.. kakak…” seiring aku menghembuskan nafasku yang terakhir, sayup-sayup kudengar Kakak mengucapkan Inalillahi dengan pelan.

Beberapa minggu kemudian seorang pembawa berita melaporkan berita barunya, bahwa terjadinya serangan udara Israel kali ini menewaskan beberapa warga, diantara mereka tewas dua orang bersaudara, nama mereka adalah Fatimah dan Hasan.

@~@~@

2 komentar: